Mengenang Kepergian Papa

Assalaamu'alaikum...

Tulisan ini ternyata mengendap dari November 2011, menjelang satu tahun kepergian Mama kembali ke rahmatulloh. Karena tak mampu berkata, tulisan ini pun tidak kulanjutkan. September 2022, mama dan papah udah gak ada. Papa meninggal pada Sabtu, 27 Agustus 2022. Terkadang aku berpikir, mama dan papa seperti soulmate. Tak butuh waktu lama bagi papah menyendiri di dunia tanpa mamah. Yaa Alloh, ampunilah dosa kedua orangtuaku, sayangilah mereka, jadikan kubur mereka bagian dari taman surgamu. Aamiin yaa robbal 'aalamiin.

Kepergian Papa

Sabtu (27/8/2022) sekitar pukul 06.46 aku membaca pesan WhatsApp dari abang kedua. Ternyata pesan itu sudah dikirim dari pukul 5 pagi. Sebelumnya, 04.30 abang missed call, yang sama sekali nggak kedengeran oleh siapapun di rumah aku. Aku bilang, aku ga bisa karena lagi meriang. Dari Jumat siang hingga malam kerjaanku hanya tidur aja memang karena tetiba badan seperti meriang. Sebelumnya udah berasa tapi aku tahan-tahan aja mungkin. 

Pasca berkirim pesan, akupun tidak menanyakan kelanjutan kabar papah. Pikiranku, ini penyakit biasa bagi papah. Lagi pula, gak ada kabar lagi juga dari abang kedua hingga 07.55. Fyi, papah biasa mendadak keringat dingin atau nggak enak badan. Biasanya tengah malam hingga menjelang subuh. Dibangunin tengah malam, panggil siapa gitu misalnya untuk kerokan atau dipijat adalah hal yang biasa buat kami. Kadang juga siang hari, yang cuman dilap seluruh badannya, lalu dikasih bedak.


KH. Romli Jawahir memberikan sambutan dari pihak keluarga usai menyolatkan jenazah.



Lalu, 8.28 ada pesan WhatsApp lagi dari abang lainnya menanyakan layanan home visit bagi dokter. Jujur ku tak tahu, tapi sepertinya kalau klinik dokter diparanin, mau gak mau dia bakal datang ke rumah pasien. Lima belas menit kemudian dikabarkan kalau papah sudah ada di Klinik 24 Jam Ampera.

Sampai 8.49 kita masih saling update keadaan papah. Sepuluh menit kemudian, 08.59 aku dikabarkan kalau dari hasil oxymeter udah rendah banget 71/48. Sambil ingat-ingat, 71 artinya kadar oksigen rendah (minimal 95 inget zaman awal pandemi Covid-19) -- ohh, papah harus pakai oksigen, 48 menunjukkan denyut nadi per menit -- yang kulupa berapa standarnya bagi manusia sehat. 

Kemudian, pesan kembali datang yang mengabarkan "Papah kyk sakaratul". Akupun masih ga pikiran ke sana. Masih gamang dengan apakah alatnya gak bener (karena abangku bilang pas dia ukur masih cepet terdeteksi) atau memang seperti itu hasilnya. 

WhatsApp-an dari abang mengabarkan berita papah.

Di rumah, kukonfirmasi keadaan genting ini ke papapriyadh. Dia yang sering berhadapan dengan rumah sakit dan orang sakit, maksud hati tolong dampingi abangku semisal ada keputusan yang harus cepat diambil. Papap belum terlalu sigrah, tapi diri ini sudah bingung. "Aku ikut aja apa, ya ke rumah sakit?", tanyaku. "Yaa kamu juga lagi ga sehat", ungkap papapriyadh.  

Akhirnya kuputuskan untuk ikut ke rumah sakit, berdua sama papapriyadh, naik motor. Sesampainya di RS, aku ga berani masuk ke IGD. Gak berani melihat kondisi yang mungkin akan semakin buruk. Hanya menunggu cemas di luar IGD bersama papap, Pak Cecep, dan abang yang ketujuh.

Lalu, Pak Cecep masuk ke IGD untuk menengok papah. Begitu keluar, Pak Cecep melambaikan tangan dan kepala menggeleng, mulut berucap, "Nggak ada". Seperti mimpi, aku tidak percaya kalau papah meninggal. Kutegaskan kembali. Tangisku tak terbendung, tapi tetap duduk di pinggiran IGD. Aku nggak berani masuk IGD karena takut histeris atau menimbulkan trauma. 

Di dalam ternyata ada abang nomer tiga dan empat. Abang nomer tiga keluar mengonfirmasi saudara untuk menyiapkan rumah, lalu kembali masuk ke IGD dan menepuk-nepuk pundakku. Aku.. masih nggak percaya. Abang nomer empat keluar dan memelukku. Di situ aku nangis lebih kencang, membawa penyesalan karena tidak segera menjenguk papah pagi itu dan membawanya ke RS. Memory Selasa terakhir bersama papah pun menyeruak. Diri ini berandai-andai .. apa karena itu, apa papah pikiran, kenapa tiba-tiba begini kejadiannya?

Akupun tidak berani memberi tahu grup keluarga di WhatsApp. Hanya meminta mereka untuk datang berkumpul ke rumah papah. Almarhum papah selalu bilang, dia minta agar dimatikan di hari Jumat. Kenyataannya, Alloh panggil papah di hari Sabtu, hari di mana anak-cucu papah sedang libur kerja, semua berkumpul mengurus jenazah papah.


Selasa bersama Papah

Selepas Mama meninggal, kami anak-anak papah membagi waktu untuk mengantarkan makanan ke papah. Aku kebagian di hari Selasa. Dua minggu sebelum papah meninggal, aku temani papah makan. Dia makan begitu lahap. Berhubung aku juga ga bisa-bisa amat kalau urusan masak, tapi dua minggu itu papah makan dengan lahap makanan yang aku sediakan, yang sengaja kubuat ataupun beli.

Selasa, 16/8/2022

Papah: Lo nggak makan?
Aku: Nggak, Pah. Tadi udah makan duluan di sekolah dari ibu-ibu TK. Tadi abis lomba 17-an trus disediain makan. Karena udah lapar, ya nisa makan deh.
Papah: Ada apanya makan?
Aku: Ada dendeng, sayur asem, sama jengkol digaremin.
Papah: Kayaknya udah lama gak makan dendeng, deh.
Aku: Masa? Waktu kurban kemarin langsung dimasakin sama Ayu dendeng, khas dalamnya lagi.
Papah: Yaa tapi kan kalau bukan orang kita, beda kayaknya.

Lalu papah makan dengan lahap bersama jengkol, dendeng, dan mengokop kuah sayur asem. Seneng banget gue pas liat papah makan kayak gitu. Dia cuman komentarin minyak jengkol yang terlalu banyak.

Selasa, 23/8/2022

Kali ini aku hanya membelikan Papah gado-gado, tanpa lontong karena lagi gak ada ide buat masak.

Aku: Iya, banyak banget ini gado-gadonya.
Papah: Seneng kali dia gado-gadonya dibeli lagi jadi dibanyakin bikinnya.
Aku: Yaa lumayan sering beli di situ juga, si
Papah: Gado-gado rumput.
Aku: Justru ini bagus, Pah. Banyak serat jadi kenyangnya lama.

Lalu, sepanjang Selasa itu obrolan meja makan diisi dengan pencarian jodoh untuk abang-abangku yang belum menikah. Papah makan gado-gado hingga habis. Tidak ada firasat apapun. Tidak ada perilaku maupun perkataan papah yang menurutku aneh. Makannya, aku kaget pas dengar papah meninggal.

Papah Membersihkan Dirinya Sebelum Meninggal

Tak perlu waktu lama bagi papah menjemput ajalnya. Kaka ipar cerita, papah emang sering ngomong kalau dia gak mau mati dalam keadaan lama terbaring di bale (tempat tidur). Papah nggak mau menyusahkan orang. 

Semoga papah ridho, ya. Nisa nggak anterin papah ke rumah sakit untuk terakhir kalinya. Kita memang kerap ke rumah sakit dan pergi berobat berdua. Ke sinian Nisa udah nggak anterin papah kalau berobat yang jauh, kalau nggak ada temannya. Bukan apa, takut papah kenapa-napa di jalan dan Nisa bingung.

Ke sinian saat kudenger the untold story sebelum papah meninggal, papah membersihkan dirinya. Pada saat sakit itu, 2x papah buang air besar di rumah dan 1x buang air besar di klinik. Maasyaa Alloh, jenazah papah saat dimandikan pun bersih, tanpa kotoran. Ustadz Sidik sang pemandi jenazah bersaksi, "Maasyaa Alloh mudah-mudahan ini pertanda almarhum suci zhahir dan batinnya. Almarhum adalah seorang yang cinta ulama. Saya waktu dulu ngajar di Daarussalaam (1992), pas Daarussalaam baru dibuka, almarhum mengundang para ulama. Bahkan, Habib Al-Jufri pun datang". Papah memang kenal dekat dengan banyak ulama. Permasalahan yang menemui kebuntuan, pasti ditanyakan oleh papah ke ulama.

Aku pun teringat perkataan papah saat makan siang bareng terakhir kali, "Papah cuman inget satu pesan baba, "Jangan sekali-kali makan hak orang lain biarpun sedikit!" Papah, demikian adanya, yaa memang seperti itu orangnya. Dia mengelola peninggalan orangtuanya untuk membesarkan para keponakannya yang kala itu menjadi yatim.

Papah yang selalu khawatir kalau aku telat masuk sekolah saat hendak berangkat sekolah SMA. Dengan mobil corolla 73-nya, dia bangga menyetirkan anaknya berangkat sekolah. Guenya aja yang malu naik mobil itu 😆😆 kacanya terang banget booook! Papah yang menemani aku saat lomba dan wisuda TPA se-Jabodetabek di Yogyakarta. 

Papah yang suka menjemput aku saat les bimbel demi bisa masuk PTN UI. Papah juga yang menjadi saksi saat aku wisuda sarjana. Wisuda sarjana aku terjadi di bulan Ramadhan. Mamah tidak bisa menemani karena takut nggak kuat. Akhirnya, papah dan abang nomer 4 pergi menyaksikan kelulusanku.


Sesungguhnya banyak yang kupelajari darinya walaupun diri ini tidak selihai dirinya dalam berkomunikasi, mengelola emosi, juga keuangan. Mudah-mudahan apa yang papah tinggalkan untuk keturunannya, bisa kami lanjutkan untuk kemaslahatan umat Islam. Apa yang ada, insyaa Alloh harus dipertahankan supaya tetap ada jika itu membawa kebaikan. Apa yang ada, insyaa Alloh harus dipertahankan supaya jadi ladang kebaikan juga bagi mereka yang telah meninggal. Mohon daoanya, yaa.

Papah, Mamah, mungkin sekarang sudah bertemu di alam barzah. Papah masih mendapatkan free pass selama 40 hari ini untuk bulak-balik alam barzah dan dunia. Papah kini juga telah bertemu dengan ibu yang sangat dicintainya, baba tasib yang mengajarkan prinsip kehidupan, juga anak-anaknya yang telah berpulang ke rahmatulloh lebih dulu.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَعَافِهِمْ وَاعْفُ عَنْهُمْ وَاكْرِمْ نُزُلَهُمْ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُمْ وَاغْسِلْهُمْ بِالْمَاءِ 

وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِمْ مِنَ الْخَطَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْاَبْيَضُ مِنَالدَّنَسِ وَاَبْدِلْهُمْ دَارًا خَيْرًا مِنْ 

دَارِهِمْ وَاهْلًا خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِمْ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِمْ وَقِّهِمْ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Artinya: Ya Allah, Ampunilah dia, maafkanlah mereka dan tempat-kanlah mereka di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburan mereka, mandikan mereka dengan air salju dan air es. Bersihkan mereka dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya mereka di dunia, berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarga mereka di dunia, istri (atau suami) yang lebih baik daripada istri (atau suami mereka), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari fitnah kubur (siksa kubur) dan Neraka.

Sebenarnya pilu banget hati ini, yaa Alloh. Harus cium papah untuk yang terakhir kalinya, dalam kondisi tubuh sudah kaku dan dingin. Waktu ku masih kecil, papah sering ciumin aku dan ngelitikkin pakai jenggot juga kumisnya sampai aku kegelian dan ga mau karena bau khas bapak-bapak. Beranjak dewasa, peluk dan cium itu makin berkurang, bahkan ga pernah lagi.





Jazakumulloh khoirul jazaa buat semua pihak yang telah membantu keluarga dalam mengurus jenazah hingga berpartisipasi di segala bentuk tahlilan untuk Amaghfurlah H. Mohamad Tohir bin H. Tasib.














Tidak ada komentar

Terima kasih sudah berkomentar dengan sopan :)